Kereta Api Fajar Utama Jogja melaju
diantara hijau persawahan bumi Cirebon, cuaca siang yang cerah, sejauh mata
memandang paduan dataran hijau dan langit yang biru berkolaborasi apik hingga
ujung cakrawala. Petak-petak sawah tersusun rapi, padi masih hijau, belum
menguning. Ku sandarkan kepala pada sandaran kursi kereta kelas bisnis ini.
Seorang ibu membiarkan anaknya menempelkan wajahnya pada jendela kereta. Beberapa
orang yang lain memandang keluar tanpa berkata. Dalam gerbong yang hanya di
meriahkan oleh suara gesekan roda dengan rel sepertinya kami mempunyai perasaan
yang sama, kekaguman yang sama, penilaian yang sama tentang indahnya alam yang
sedang kami lewati, mungkin saja beberapa diantara kami sudah menanti-nanti
saat kereta melewati teritori bumi Cirebon ini. Di ujung cakrawala sebelah
kanan, gunung Ciremai mengingatkan kepada lukisan wajib anak-anak yang selalu
melukiskan dua buah gunung juga persawahan di selembar kertas putih ukuran a4. Gunung
Ciremai biarlah kesejukan selalu ada saat kami memandangmu.
Sekitar pukul tiga sore nanti
kereta ini akan tiba di pemberhentian terakhirnya, Stasiun Tugu Yogyakarta.
Perjalanan delapan jam dari Stasiun Pasar Senen Jakarta yang akan membawa saya
kembali merasakan hangatnya selimut di Kota Magelang yang berkabut. Tak ada yang
lebih indah dan lebih dirindukan bagi seorang perantau selain kata “Pulang”.
Pulang yang mempunyai banyak arti. Sebagian makna pulang berarti bertemu
keluarga, bertemu banyak kawan lama dan menyadari lagi proses kehidupan yang
pernah terlewatkan. Bersandar pada kursi tua di depan televisi, berbaring pada
ranjang tua yang mengenalkan pada malam, tidur dan mimpi. Melakukan apa yang
selalu di bayangkan tiap malam di tanah perantauan.
Sesuatu yang tak terencana jauh
hari terkadang malah terlaksana. Tadi di kereta, setelah gunung Ciremai tak
lagi kelihatan saya menghubungi Tommy. Tanpa butuh banyak pertimbangan kami
setuju untuk mengunjungi gunung Prau. Perlengkapan yang kurang hanya tenda,
beruntung Tommy ada di Yogyakarta, beberapa peralatan outdoor dapat kami peroleh dengan cara sewa.
Pada mulanya janjian untuk
berangkat pagi, pada akhirnya jam lima sore kami bertiga, ditambah Fika, baru
mulai perjalanan dari Magelang. Jam sembilan malam kami tiba di basecamp gunung Prau di desa Patak
Banteng, Dieng. Para pendaki bersandar pada tembok didalam bangunan dibelakang
kantor Camat, diluar cuaca gerimis romantis. Radio tua diatas meja penjaga basecamp mengeluarkan alunan lagu-lagu
band Indonesia. Sementara para pendaki lain mulai berpamitan untuk memulai
pendakian mendahului kami, Tommy memasak air, gelas dan sendok sudah siap
bersama bubuk instan siap seduh. “Ngopi dulu luuuuur.”
Bau aspal yang tertimpa air sudah
sedari tadi menguap. Tanah basah, gerimis sudah reda, kabut tipis bergerak
perlahan, tanpa angin kencang. Jam sebelas malam kami memulai pendakian
berbekal peta dari Mas penjaga basecamp.
Katanya sekitar dua jam perjalanan kami akan mencapai puncak. Seperti biasa
kami bagai orang yang terlalu santai karena kurang kerjaan, saat kamar-kamar mulai
memadamkan lampunya, pemiliknya pulas terpejam dalam selimut kain tebal kami
berjalan dalam diam menikmati malan. Tanpa gemerlap gemintang, tanpa mewah
terang lampu perkotaan, warna lampu yang kuning keemasan nampak seperti
lilin-lilin kecil yang menerangi setiap sudut gelap desa di pegunungan Dieng
ini. Hingar bingar yang jauh dari Dieng mungkin hanya terjadi satu tahun
sekali, saat festival cukur anak rambut gimbal. Arti lain dari lilin-lilin
kecil itu adalah tentang kesederhanaan, kenyamanan dan keramahan. Cahaya senter
menuntun kami melewati selangkah demi selangkah
tanjakan tanpa turunan hampir tanpa jalan datar. Perjalanan menuju
puncak Gunung Prau memang singkat hanya sekitar dua jam, tapi langkah kaki tak
bisa santai tanjakan tanjakan dan tanjakan menghajar otot kaki dan memeluhkan
energi energi.
Saya dan Fika duduk merebah
disamping tugu semen kecil yang menandai berakhirnya perjalanan dua jam kami.
Menyebar pandang memandangi siluet gagah gunung-gunung didepan juga tenda-tenda
pendaki yang tersebar berwarna-warni terkena bias senter berlampu putih. Tommy menjelajah mencari tanah datar untuk
kami mendirikan tenda. Angin perlahan mengeringkan pelu, mengubahnya menjadi
dingin yang menusuk. Tenda selesai didirikan, air selesai dipanaskan untuk
menyeduh kopi, tidak ada masakan malam ini, hanya sekedar cemilan, mengingat
kami sudah makan dialun-alun Wonosobo. Tenda kami tutup, diluar meninggalkan
langit yang masih hitam tanpa bulan, tanpa bintang. Dua sachet kopi dituangkan
menjadi segelas kopi untuk bertiga memberikan kehangatan lebih didalam tenda
menciptakan sedikit obrolan dan gurauan. Sleeping
bag telah sempurna membungkus kami, lengkap dengan sarung tangan, celana
panjang, jaket dan kaos kaki. Jam ditangan memberi isyarat bahwa pagi akan
segera tiba. Kami akhiri malam dengan memejamkan mata.
Langit-langit tenda mulai
terang, pertanda langit diluar mulai berubah warna, pertanda semesta bersiap
menyambut datangnya mentari pagi. Di gunung kadang indah dan sengsara muncul
secara bersama, ingin hati melihat sunrise yang indah tapi dingin semakin
dingin, semakin menusuk. Teriakan kekaguman mulai terdengar, kami bertiga tak
mau kalah, segera kami keluar dari tenda. Begitu melihat suasana diluar tenda,
ada rasa rindu yang terobati, ada senyum bahagia yang kembali, ada diam untuk
mengagumi. Semesta memang tempat untuk belajar memahami, cobalah berdiam diri
sambil memandangi proses datangnya mentari pagi, ada banyak keajaiban yang akan
menemani. Dihadapan megahnya pemandangan langit pagi kali ini, saya
dikembalikan pada kesadaran bahwa saya hanyalah makhluk kecil yang sebenarnya
jauh dari kata berarti.
Dari puncak sini Gunung Sindoro
dan Sumbing tak bisa menyembunyikan kegagahannya. Gunung Merbabu, Merapi,
Telomoyo, Andong, Ungaran dan Lawu nampak hitam manis dikejauhan. Gunung Slamet juga nampak jika dilihat dari sisi
lainnya. Lekuk liuk rerumputan yang kekuningan menjadi permadani bagi
bukit-bukit dan sabana, beberapa pendaki mengabadikannya dalam sebuah gambar.
Saya masuk dalam pikiran tentang orang-orang ditempat lain yang sedang
menangis, bersedih atau sedang memaki-maki, terasa berbeda dengan apa yang
sedang saya alami ditempat ini. Keceriaan, kebahagiaan dan kadamaian sangat
dekat dengan kami, semuanya terasa bersahabat. Apa orang-orang seperti kita ini
bisa membagi kegembiraan dan suasana ini kepada mereka? Tapi apa orang-orang
seperti kita ini bisa terus menjaga keadaaan seperti ini?
Menapaki rerumputan hijau
dibawah payung langit yang biru di Gunung Prau adalah cerita yang sederhana
sama halnya dengan cerita hidup ini, biarkan mengalir sederhana mengikuti
intuisi hati untuk menjadi bahagia.
Keren euy. Kemarin aku nggak dapet apa-apa di Prau. Cuma ada kabut tebal dan gelap :(
ReplyDeletehehehehe.. Pas aja Mas Yasir semesta mendukung..
DeleteAyuuklah kita ke Prau lagi..