Bukit Cemuris, Bukit Purwosari

Bukit Cemuris, Bukit Purwosari

         Bintang-bintang kecil bertabur diatas langit Candi Mendut yang disoroti lampu dari dua penjuru, hanya satu kali mataku mampu menangkap bintang jatuh kala itu, garis jatuhnya tak mampu diabadikan walau hanya satu kedipan mata. Hawanya segar betul, jika bukan karena masih gelap, sawah-sawah hijau berbulir embun pasti sudah menyejukan sejauh mata memandang. Mengendarai sepeda motor pinjaman, tadi jam setengah empat pagi, Ucup dan saya memulai perjalanan menuju Punthuk Setumbu dari Yogyakarta.

          Mengagetkan, sampai tepat didepan portal masuk Hotel Manohara, laju motor kami melambat, ada seorang bapak berusaha menyejajarkan laju sepeda motor matic yang ditungganginya dengan laju sepeda motor kami. Saya sedang mengingat-ingat belokan kekanan yang merupakan jalan menuju Punthuk Setumbu.

          “Mau lihat sunrise Mas?” Teriak bapak tadi, saat hampir sejajar dengan kami.

          “Iya Pak, mau ke Setumbu.” Jawab saya.

          “Sudah tahu jalan kesananya?”

          “Sudah kok Pak, dulu pernah kesana.”

          “Oh, ya sudah.” Kata bapak tadi sambil melambatkan lajunya.

          “Eh pak, pak, pak. Sebentar.” Pinta saya kepada bapak supaya berhenti sebentar.

          Saya bertanya cara untuk menikmati sunrise dari Candi Borobudur, karena juga pasti kesempatan yang langka dapat berada di dalam komplek Candi Borobudur sebelum matahari meninggi.

          “Bisa Mas, tapi mahal. 250 ribu. Kalau mau saya antar ke Cemuris aja Mas. Bukit Cemuris Mas, lebih tinggi dari Setumbu. Tinggal nglinguk (lihat) ke bawah Punthuk Setumbu sudah kelihatan.”

          Tanpa pikir panjang, saya menyahut “Lajulah Pak.” 

          Perasaannya tak ada sedikitpun rasa curiga kepada kebaikan tawaran bapak itu. Motor kami berbalik arah selanjutnya kami melaju beriringan.

          Tak memakan waktu lama, plang penunjuk arah dari kayu bercat hijau bertuliskan sunrise membelokkan laju sepeda motor. Selanjutnya pada setiap seratus meter jalan terdapat papan petunjuk arah yang mengarahkan pada lokasi Bukit Cemuris. Semakin memasuki wilayah desa jalanan yang semula aspal halus berubah menjadi jalan cor. Persis jalan menanjak ke lokasi parkir Punthuk Setumbu.

          Hanya ada sebuah tempat parkir disamping rumah berhalaman luas disebelah kanan jalan yang menyambut kami, begitu kosong, begitu sepi, gelap. Setelah kami memarkirkan motor, gubug parkiran kini sudah terisi walau hanya satu motor milik saya. Maksudnya satu motor pinjaman. Seorang ibu dan seorang pemuda yang nampak masih seumuran saya tetiba muncul dari balik kegelapan, mungkinkah di Borobudur dikembangkan desa wisata sihir?

          Kami berlima berbincang sedikit tentang Bukit Cemuris ini. Beberapa bulan lalu memang namanya adalah Bukit Cemuris, nama yang asing dan unik menurut saya. Namun dikarenakan beberapa hal, salah satunya masalah kepemilikan tanah maka dirubahlah nama bukit ini menjadi Bukit Cemuris. Kami merasa cepat akrab, betapa saya merindukan suasana seperti ini, khas penduduk desa. Ramah, hangat, ikhlas dan penuh senyuman.

Sebelum Matahari Muncul, Bukit Cemuris

          Setelah melewati spanduk selamat datang berhiaskan foto-foto beku yang menggambarkan keindahan sunrise dari Bukit Purwosari, jalanan berbuah menjadi undakan-undakan tanah, memang sengaja dibentuk seperti itu kata Mas Yudi yang mengantar saya dan Ucup menuju Bukit Purwosari. Penerangan jalan memang masih sangat kurang, sebaiknya membawa senter sendiri untuk bisa melihat kondisi jalan sekitar. Dua pondokan semi permanen juga sengaja dibangun untuk beristirahat para pengunjung yang kelelahan tersiksa tanjakan. Jika dibanding jalur menuju Punthuk Setumbu jalur menuju Bukit Purwosari lebih menanjak, nafas akan lebih terengah-engah dan ketahanan fisik akan lebih diuji. Lebih kurang menapaki jalan setapak selama lima belas menit, kamipun tiba dipucuk Bukit Purwosari. Dan aku merasa sangat beruntung dipertemukan dengan bapak didepan Hotel Manohara tadi.

          Latar untuk menikmati sunrise di Bukit Purwosari berupa trap tangga dari tanah yang tinggi dibelakang. Sambil duduk mengatur kembali irama nafas, pemandangan luas nan indah tersaji. Lampu dari rumah-rumah mewarna-warni alam diantara ujung kuku kaki dan ujung cakrawala yang dibatasi Gunung Mebabu dan Gunung Merapi. Seperti pertanda bahwa Magelang tahu kalau saya selalu merindukannya, melodi pagi ini dilantunkannya dengan sangat indah. Ini adalah rindu yang tak bertepuk sebelah tangan.

Mas Yudi Di Bukit Cemuris

          “Bukit Purwosari ini baru tiga bulan dibuka Mas, belum banyak yang tahu, belum banyak pengunjung.” Mas Yudi sedikit bercerita tentang kisah dibalik Bukit Purwosari. Para pemuda desalah yang berinsiatif mengelola tempat ini, pagar-pagar pembatas jurang dibangun, bangku-bangku dari bambu disediakan, semak-semak dibabat, demi memberi rasa nyaman kepada pengunjung. “Nanti kalau sudah agak cerah kepala dari Gereja Burung di Bukit Rhema juga kelihatan mas.” Terangnya sambil menunjuk letak Gereja Burung menggunakan senter digenggamannya.

          Namanya entah Bukit Cemuris atau Bukit Purwosari, diatas sini tak ada plat nama yang pasti, yang menunjukkan apa nama bukit ini. 

Terlihat Borobudur dan Kepala Gereja Burung

          Langit hitam mulai membiru, horizon menjingga, dedaunan menghijau, lampu-lampu penerangan kota sudah dipadamkan. Semesta telah siap menyambut hari baru. Dari Bukit Purwosari tak kulihat lautan awan dibawah kaki. Sehari-hari kabutlah yang menari rendah, pagi ini kami dibuatnya betah, disegarkannya pohon dan hutan-hutan, didinginkannya air sepanjang sungai. Mungkin seperti inilah setiap pagi, kabut-kabut berkejaran, berlomba mencapai kota-kota dikejauhan. 

Punthuk Setumbu dari Bukit Cemuris

Hitam Putih Bukit Purwosari