![]() |
Sunrise dari Pasar bubrah |
Malam
telah menyelesaikan sepertiga tugasnya, sementara kepala kami berenam makin
terkantuk-kantuk menahan berat kelopak atas mata. Ingin sejenak saja menggelar
matras lalu merebah membiarkan lelap menguasai tubuh, hanya sebentar saja. Punggung
bersandar pada dinding yang dingin, pantat menempel pada lantai yang dingin,
semuanya serba dingin. Langit bergemuruh, sesekali memunculkan kilatan putih, ini
sudah bukan lagi gerimis, dua kali langit menangis deras hari ini.
Ku
arahkan lampu senter ke jam tangan. Sudah hampir dua jam kami berteduh disini,
dibangunan permanen dibawah tanda nama New Selo. Merengkuh ransel kami
masing-masing, berharap mendapat sedikit kehangatan untuk melawan laju angin
yang tak mau mengerem. Disamping kami, sepasang suami istri yang baru saja
menikah saling memberi realisasi perhatian, sang istri merapikan penutup kepala
lalu mengencangkan sleting jaket sang suami. Sang suami merangkul sang istri,
membiarkan kepala sang istri terkulai manja dipundak kirinya. Mereka begitu
mesra. Kami berenam saling menatap mata. “Kita
ngenes, Mblo.”
New
Selo masih titik awal pendakian, namun kami putuskan untuk tetap nekat memulai
berjalan, hujan masih belum bisa disebut gerimis, trabas. Jalan setapak
menemani masuk ke dalam hutan, air mengalir lancar menggemburkan jalur yang
berupa tanah liat, licin. Pijakan sepatu tak pernah mantap. Tergelincir, lumpur
basah menempel, mengotori pakaian. Angin menerpa mengguruhkan gendang telinga,
hujanpun tak memberi pertanda akan reda.
“Break, break.”
Teriak saya yang berjalan paling belakang. Saya menyerah membiarkan air hujan
mengguyur. Jas hujan yang sudah dipersiapkan dibagian paling atas ranselpun
saya kenakan.
“Cari tempat yang agak datar Tom, gak bakal kuat kalau dilanjut,
bisa bahaya. Kita buka tenda.” Embek memberi aba-aba pada Tomy yang berjalan
paling depan.
Hujan
masih saja belum reda saat kami tiba di bangunan yang ternyata bukan shelter
dikanan jalur pendakian. Sementara jam ditangan sudah menunjukkan pukul dua
pagi. Badan meronta meminta kehangatan. Di bawah bangunan ini kami putuskan
untuk mendirikan tenda. Tanpa basa basi airpun dididihkan demi mempersilakan
kopi mengepulkan harumnya. Tanpa percakapan yang panjang, kami berjajar lelap
dibalut kantung tidur. Hujan masih berdendang, biarlah tenda yang mengawaninya
berbincang.
Pagi
tiba, kuusapkan telunjuk pada kelopak mata, pintu tenda sudah terbuka berkibar-kibar. Embek, Tomy, Mas Miko dan Mas Joni masih nyaman bersama
dengkurnya. Fika nampak diluar tenda, menikmati elegi pagi, tertegun memandangi Gunung Merbabu, dia duduk diatas rumput, juga sambil memainkan dedauan, seolah
dia berbisik pada embun-embun supaya ikhlas jika sebentar lagi matahari memaksa
mengakhiri cumbunya dengan dedaunan.
Sarapan
ludes seketika dilahap mulut yang berperut keroncongan, sesaat kemudian
ransel-ransel diberdirikan melingkar, begitupun empunya. Kami buka langkah
pertama pendakian pagi ini dengan berdoa. Mugo diparingi cerah, diparingin
sehat, diparingin kuat.
Mendaki
gunung memang butuh banyak sugesti, seperti menyemangati diri sendiri saat
meniti tanjakan demi tanjakan didepan kami. Menyugesti untuk berdiri diatas
samudera awan, menatap langit biru nan megah, menatap kota-kota gagah yang
nampak mungil, tiap sugesti memiliki kekuatan tersendiri untuk terus
memantapkan langkah. Tapi, jujur kawan, keinginan untuk beristirahat, berhenti
lalu pulang kerumah kadang lebih menyamankan, meskipun hanya sesaat.
Jalur
yang berupa liat masih belum kering dari sisa hujan semalam,
genangan-genangannya mencetak bentuk alas-alas kaki menjadi penanda bagi
pendaki-pendaki dibelakang kami bahwa jalur ini baru saja dilewati. Pohon-pohon
kurus merelakan embun terakhirnya jatuh membasahi lengan-lengan juga bebatuan. Kami
menatap jauh ke atas, warna langit belum cerah. Abu-abu berlari-lari dibawah
matahari ditampiknya sinar yang ingin sekedar menghangatkan bumi.
Langkah-langkah masih terus menjejak mantap, diayunkan melawan tantangan
tanjakan. Tak ada bonus. Tangan, pundak dan kaki, semua menguras energi. Kaos
kuyup oleh peluh. Tanjakan terus tanjakan, sudah berjam-jam masih saja tak ada habisnya, sungguh
menyiksa. Tapi kami tahu, mulut kami tak boleh mengucap keluh.
![]() |
Di Watu Gajah |
Jalan
sempit yang diapit dua batu menandai ujung perjalanan hari ini tinggal sedikit
lagi, para pendaki menyebutnya Watu Gajah. Mulut menganga membantu kerja
paru-paru mengatur kembali irama nafas yang tersenggal-sengal. Ku terbangkan
pandang ke atap bumi, masih abu-abu, nampaknya hari ini langit tak akan biru.
Gunung
Merapi akhirnya sedikit memberi bonus. Dari Watu Gajah sampai ke batas vegetasi
kami berjalan cukup santai. Sembari sesekali merekahkan bunga bibir menyapa
pendaki lain yang tendanya sudah berdiri. Ada beberapa tanah datar yang cukup
untuk mendirikan tenda juga dilokasi ini.
“Kita buka tenda di Pasar Bubrah aja.” Embek memberi isyarat untuk tetap
lanjut berjalan.
![]() |
Tenda Di Bawah Watu Gajah |
Pasar
bubrah, puncak Gunung Merapi masih satu jam dari sini, sebuah latar hampir
tanpa vegetasi tepat dibawah puncak Gunung Merapi, menyimpan banyak mitos dan
cerita, ada pula yang menyebutnya Pasar Setan. Diwaktu tertentu kabarnya disini
tercipta pasar yang pedagang dan pembelinya adalah makhluk halus.
Tomy
bergegas mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda. Sulit, tetiba angin
kencang membawa kabut tebal melanda, bulir hujan besar-besar menimpa. Kami
harus saling berteriak untuk bisa saling menerka posisi supaya kami tetap
bersama, kabut tebal selalu membuat waspada. Tenda kami dirikan segera diantara
batu-batu besar untuk melindunginya dari angin yang menerpa.
“Yang penting tenda jadi dulu, pasang pasak dan tata bagian dalam
tenda sebisanya.” Kondisi memaksa harus bercerak
cepat. Jemari kaku, bibir membiru, tubuh menggigil, kaos dan celana sudah tak
lagi kering. Celana dalam saya yang saat itu belum GT-Manpun hampir kuyup. Tak
mengapa asal jangan mengkerut.
Diantara
semua cuaca yang meresahkan ini, seorang pendaki wanita kami bujuk paksa untuk
meneduh ke dalam tenda kami. Sebelumnya dia duduk dibalik sebuah batu, dia
sedang menempelkan kedua dengkul ke dada sambil memeluk kedua kakinya, ponco
menutupi tubuhnya. Setelah ditanya, dia menunggu sendirian di Pasar Bubrah,
teman yang lainnya sedang kepuncak. Wajahnya jelas sudah pucat kedinginan,
tatap matanya hampir kosong. Keputusan seorang wanita dan teman-teman yang
mungkin saja berujung bahaya. Sebuah pelajaran juga sebuah instropeksi diri
bagi kami.
“Slip inside the
eye of your mind
Don’t you know you
might find
A better place to
play”
Sore
itu hampir senja dipastikan tiada jingga karena kabut masih menguasai angkasa.
Embek berulang-ulang memutar lagu Don’t
Look Back In Anger milik Oasis, curiga mungkin hanya satu itu playlistnya.
Malam mulai tiba, sejujurnya ada ketakutan yang hadir, setelah dari titik awal
pendakian cuaca yang mengerikan terus melanda, sudah berapa kali baju yang kami
pakai kering, basah, kering, basah lalu kering lagi. Setelah pengakuan dari Embek
dan Fika yang belum meminta ijin kepada orang tuanya untuk pendakian Gunung
Merapi kali ini. Setelah kami sadar kalau hanya tenda kami yang berdiri sendiri
diantara bebatuan diatas tanah Pasar Bubrah ini. Sesungguhnya aku benar-benar
ingin segera pulang.
Hujan
reda, senter-senter berkelipan dari kejauhan saat Tomy sedang menyeduh kopi,
suara-suara dari pedaki lain bersautan memecah keheningan. Ternyata kabut juga
audah mulai hilang bintang-bintangpun mulai berkelipan.
“Mas, kami pasang
tenda disini ya, didekat tendanya mas.” Ijin mas-mas yang dari suaranya masih terdengar
muda.
“Silakan mas,
monggo monggo.”
Perlahan
ketakutan yang sedari tadi membuat khawatir sirna, digantikan oleh lampu
Boyolali dan Solo yang bergemerlap ceria. Kami keluar tenda menikmatinya. Menyambut
juga pendaki lain yang mulai sampai ke Pasar Bubrah.
Canda
tawa kami malam itu tak berlangsung lama, ingin rasanya segera menidurkan
mata,lelah. Pintu tenda dirapatkan, lampu senter dimatikan.
“Selamat malam
Tomy.” Ucap
Embek lembut.
“Selamat malam
Embek.” Balas
Tomy tak kalah lembut. Senyum manis terkembang dari bibir mereka berdua.
Tawapun
pecah, beruntung Fika dan Mas Joni tidur memisahkan letak Tomy dan Embek, Mas
Miko mungkin sudah terpejam. Kasihan, raincover
yang menutup tasnya tak cukup ampuh menahan air hujan. Selamat malam Pasar
Bubrah.
Sebelum Tidur |
Jarum
pendek jam sudah berada ditengah angka lima dan enam saat saya keluar tenda.
Angin selalu dingin jika sepagi ini, masih kukenakan jubah tidur gunung lengkap.
Dari cahaya senternya ada pendaki lain yang sudah hampir mencapai puncak. Saya
lemparkan pandang ke sebelah kiri, kuning menggaris lurus cakrawala, pertanda
sang empunya warna akan segera mengudara. Mas Miko, Tomy, Mas Joni dan Fika
juga sudah diluar tenda, Embek segera menyusul. Kami mengumpul kagum
menyaksikan pertunjukan Yang Maha Kuasa. Tentang matahari terbit, gulungan
awan, langit yang mulai membiru dan pohon Cantigi yang tabah, yang berusaha
tumbuh memekarkan daunnya diantara bebatuan Pasar Bubrah.
![]() |
Sunrise Dari Pasar Bubrah |
![]() |
Sunrise dari Pasar Bubrah Origin Pict By Febriawan |
Segera
setelah semua siap kami melangkah menuju puncak Gunung Merapi. Pasir adalah
jalur yang harus dilalui, sudah mulai kering, debu menyebar ketika kami
memijaknya. Bukan jalan yang mudah untuk dilalui. Mengayunkan langkah menjadi
semakin berat apalagi jika tak menggunakan gaiter,
bulir pasir masuk sepatu mengganggu kenyamanan kaki. Sesekali kami mengambil
nafas panjang sambil membalikkan badan memandangi Gunung Merbabu yang
menyanding Gunung Merapi di sebelah kanan jalur. Kabut tipis menutupi liuk
lekuk bukitnya, samar-samar nampak warna hijau yang mengkolaborasi, suguhan
yang membuat mulut menganga. Sebentar lagi puncak, jalur menjadi terjal bukan
lagi pasir tapi batu. Ruang pinjakanpun menyepit, kami harus bergantian melangkah
dengan para pendaki yang lain.
“Aaaaaaaaa.” Mulut berteriak lantang, kedua
tangan mengepal udara, bendera merah-putih mengangkasa. Puncak Gunung Merapi,
kami tiba. Dalam dua hari perjalanan kemari, beberapa kali badai telah
menerjang kami. Mental goyah, tubuh
ingin menyerah tapi akhirnya betapa kami tahu kalau Gunung Merapi memang tak
pernah ingkar janji. Diberinya segala kemegahan yang dimiliki, disajikannya
pemandangan yang begitu mewah, dihadirkannya langit cerah yang begitu biru.
Hati-hati,
hati-hati, awas, awas. Berulang kali kami saling menegur, tanah datar dipuncak
Gunung Merapi memang sempit, kanan kawah dan kiri jurang, tak sampai sepuluh
kali jengkalan tangan. Kami berenam duduk sejajar memunggungi kawah Merapi,
jauh didepan gumpalan awan membentuk kerucut menyembunyikan Gunung Lawu. Saya
mengingat dahsyatnya Gunung Merapi yang mampu menyulap kota-kota menjadi seperti
kota mati. Sempat beberapa waktu lalu sungai-sungai menjadi keruh berpasir,
pohon-pohon kering tanpa sehelai daunpun, batu-batu besar menggelinding sampai
ke jalan-jalan dan tenda-tenda pengungsian digelar diatas tanah-tanah lapang. Sekarang
perlahan kondisi memulih tetapi sampai sekarang pula ada kehilangan-kehilangan
yang mustahil tergantikan.
Perjalanan
kami turunpun lagi-lagi langit tanpa ampun mengguyurkan air ke bumi. Pagi tadi
langit hanya memberikan jedanya bagi burung-burung untuk kembali bernyanyi.
![]() |
Gunung Merbabu Dari Tanjakan Puncak Origin Pict By Gramiko Kaharap |
![]() |
Menuju Puncak Merapi Origin Pict By Gramiko Karahap |
![]() |
Di Puncak Merapi |
![]() |
Dari Puncak Merapi |
![]() |
Saat Perjalanan Turun |
Untuk
kawan seperjalanan, Embek, Tomy, Fika, Mas Miko dan Mas Joni. Aku rindu, kita
bercanda lagi saat sore hari di dalam sebuah tenda. Kapan kita berkumpul lagi? Membincangkan
kisah-kisah tentang kalian. Silakan kalian ceritakan sambil kita meneguk habis
secangkir kopi, cukup dalam teduh remang gerobak angkringan.
![]() |
Embek |
![]() |
Fika |
![]() |
Mas Joni |
![]() |
Mas Miko |
![]() |
Tomy |
![]() |
Numpang Nampang |
Wiih, merapi cakep ya sunrisenya~ jalur pendakiannya susah enggak ya? Maklum anak gunung pemula pake banget ;D
ReplyDeleteWuiiihh gile Mas Fahmi.. cakepnya pake banget..
DeleteNanjak terus tanpa ampun Mas.. Waaah.. merendah pake banget nih..
gogon cen juaraa.... opomneh ra ajak2....
DeleteAaaak kamu, di bbm gak pernah bales.. sekarang kamu sudah sombong.
Deletekatanya sabtu ini mau berangkat merapi loh kak
ReplyDeleteWuiiiih.. Siapa aja Fik? Kamu, Tomy, Embek?
DeleteKerang Adventure dong :D kak dion dimana
DeleteWeleeeh, tapi gak lengkap kan? akukan lagi sekota ma Gembong.. hahaha
Deletehe'em po? bukannya mas gembong udah balik ya? iya, keknya udah balik
DeleteHeem po? Aku juga gak tau kalo udah balik Fik.. Sial masa gak ketemu di tanah rantau ini..
DeleteMirip dengan kejadian yang aku alami waktu muncak di Merbabu november lalu mas. Kami diterjang badai yang membuat batin ini pasrah dengan keadaan. Tenda kami juga sendirian di atas bukit sebelum sabana 2. Tak bisa tidur karena semua pakaian kami basah kuyup dan tendapun tergenang air.
ReplyDeletehttps://yasiryafiat.wordpress.com/2014/12/09/pendakian-puncak-merbabu-boyolali-jawa-tengah/
Berenang sambil tidur ya mas? Sedih mas, sudah dingin basah kuyub juga.. Pengalaman yang ngajarin untuk bawa perkab anti hujan ya mas..
Deleteaakkkkkk foto2nyahhhhhh
ReplyDeleteTerutama foto yang paling bawah ya aak.. aah tidak, jangan2 kamu suka sama aku..
DeleteMas dion kapan gitu saya diajak dong, biar sehat, hehe
ReplyDeleteAyyok Mas Nud.. Weekday bisa kan? atau musti weekend?
Deletefoto yang paling atas mesra amat Mas? :D
ReplyDeleteSaya yang disuruh motoin Mas, sayangnya bukan saya yang mesra.. :(
Deletesunrisenya cakeeeeep pake banget mas
ReplyDeleteHeeh, pas dapet cerah Mas..
DeleteAjarin foto-foto donk kak.. :)
Next harus ke sana aaaah.. Tapi mesti rajin olahraga dulu nih, biar ngga kram. :P
ReplyDeleteYeps Beb.. Harus donk kesana.. Eh tapi gak olah raga juga bisa kok, aal ada yang ngegendong.. hahaha :p
DeleteKeknya kalok pun ada yang nggendong, ngga bakalan kuat deh.. Aku gembul soalnya.. Hiks.. :'
DeleteWaduuuuh.. gembul gpp Beb, asal masih bisa dilipet.. halah..
DeleteWah, pemandangannya bagus mas, manta pokoknya :)
ReplyDeleteHeem kok, dan seperti inilah yang selalu bikin kangen Mas..
DeleteManta? Maksudnya Mantap atau Mantan? eh..
Cakep banget foto2 nya, aku mau ikutan kesana tapi di gendong yeeee (males jalan kaki)
ReplyDeleteMau saya seret pake rafia aja Mas Cum.. haha
DeleteMakasih ya kakak kece.. :)
KEJAM masak diserettttt
DeleteBtw merapi mmg ngak perna ingkar janji, tapi kamuuuuuuuu. Selalu ingkar dan menyakiti aku #DErama
Hayuuuklah gak jadi diseret..
DeleteAku selalu ingat janjiku padamu kok Mas Cum, untuk menemui orang tuamu, Sekalian itung-itung ketemu sama Blogger Ngehits Mas Cumi.. hahhaa
Merapi bulan apa itu Yon?
ReplyDeleteEh bulan apa ya.. kok mendadak lupa saya.. haha
DeleteWah foto sunrise yang di pasar bubrah itu keren banget :D
ReplyDelete