![]() |
Maninjau dan Sihir Bernama Pagi |
Sepiring
nasi dengan lauk iwak kali, juga segelas teh manis hangat sedikit mengurangi
mual perut. Empat puluh empat kelokan sukses dengan mulus dilewati bus tiga
perempat yang saya tumpangi. Sekarang, gerimis yang tadi turun sudah tiada,
masih tersisa gulung-gulungan awan kelabu serta angin kencang yang menggoyang
baliho-baliho. Peluh telah sepenuhnya membasahi punggung yang sedari tadi
memanggul ransel yang kian berat. Kaki dan jemari yang berbalut plester terus
menjelajah jalanan demi mencari sebuah penginapan. Hanya seorang diri,
sementara orang-orang disekitar berbicara dengan bahasa mereka, yang tak saya
mengerti. Tubuh ini lelah, ingin segera merebah.
“Dua
ratus ribu mas semalam.” Seorang ibu membuka harga sewa kamar untuk satu malam.
Tiang-tiang kayu penyangga teras kamar sudah nampak lapuk, cat yang semula
putih telah luntur, menunjukkan warna asli kayu. Penginapan ini sudah nampak
tua. Pintu-pintu kamar masih terbuka, pertanda belum ada penghuni yang menyewa.
“Seratus ribu saja ya Bu, saya juga cuma sendiri. Saya besok check out pagi-pagi Bu.” Coba saya tawar
harga tadi karena saya merasa ibu ini adalah empunya penginapan. Ibu
mengangguk, segera ditunjukkannya sebuah kamar untuk saya berteduh malam itu.
Kasur
ukuran muat dua orang, spreinya hijau, digelar diatas dipan kayu setinggi
setengah meter. Terasa dingin, kata orang memang begitu, kasur dari kapuk lebih
dingin ketimbang yang dari busa apalagi yang terbuat dari perasaan, perasaan
pacar yang bergandengan tangan dengan orang lain sehari setelah ketok palu
putus sudah dilakukan. Lantainya belum berkeramik, masih plester halus, ada
juga tambalan semen dibeberapa bagiannya. Tanpa bak di kamar mandi, hanya
sebuah ember hitam kecil lengkap dengan gayungnya yang berwarna hijau tua.
Sepertinya ibu paham tatapan saya, katanya penginapan reot ni akan segera
dijual. Ibu akan meninggalkan kedamaian Maninjau, beliau akan ikut sang suami
yang sudah menetap di Padang.
![]() |
Warna Senja di Danau Maninjau |
Danau
Maninjau dalam perjalanannya menuju senja namun langit tak sepenuhnya jingga,
awan hitam masih menggumpal. Air danau bergelora tak mampu menahan laju angin,
bergerak searah membuat ombak-ombak kecil. Kucelupkan kedua kaki, air dingin
membelainya. Kedua tanganku menyandar, wajah menengadah menatap luas langit.
Angin menelisik menyisir celah-celah rambut setelahnya barulah menggoyang dahan
pohon kelapa. Ketenangan yang hanya kunikmati sendiri, kedamaian yang pasti
akan kurindui. Walau senja kehilangan jingga, saya tahu esok pasti akan muncul
hari dimana saya akan mendamba lagi senja seperti ini. Kamar ini hanya berjarak
sepuluh meter dari tepi danau. Warna-warna perlahan pergi, jingga, hijau,
bahkan abu-abu. Lampu-lampu mulai berkerlip diseberang danau. Tak banyak yang
berubah sejak sore tadi, masih saja sepi, sunyi dan tenang. Biarkan saya tetap
duduk ditepian, menjemput gelap menyambut bulan dan bintang-bintang.
Langit
gelap begitu saja menjelma jadi biru. Lagi-lagi tenang, air danau yang semalam
mendendangkan lagu tidur, yang menceritakan dongeng sebelum tidur berubah
senyap, tanpa angin air di Danau Maninjau bisu. Bisunya menambah syukur pagi itu.
Seperti diatas sebuah panggung pertunjukkan. Panggungnya adalah langit, pohon
kelapa menggenjreng gitar, angin menyuarakan piano, awan menggesek biola, bukit
menggebuk drum, air danau memainkan biola, kabut bersuara merdu dan matahari
bertugas pada pencahayaan panggung. Sementara kabut lain yang menjadi kawan
saya, berduyun-duyun menuruni bukit, menyibakkan embun dipohon-pohon. Sungguh
indah pertunjukkan gratis ini. Semuanya mengalun pelan dan syahdu. Wahai waktu
bolehlah saya mohon supaya jangan kau cepat berlalu.
![]() |
Sesaat Setelah Tenggelam |
Dengan
perahu kecil yang hanya mampu menampung satu orang, nelayan danau Maninjau
menelusur tepian danau, diangkatnya jebakan satu persatu yang sudah entah dari
kapan dia pasang. Dimainkannya dayung, kanan lalu kiri, kakinya masih selonjor.
Biduk kayu kecilnya menghasilkan riuh kecil pada air yang tenang. Tanpa
beranjak dari biduk dipotongnya jarak dengan dayung, diangkatnya jebakan dilain
tempat. Seperti itulah setiap pagi, diantara kabut tipis yang berlari-lari,
selalu ia sisipkan harapan, selalu ia semogakan ikan-ikan mengisi penuh biduk
kecilnya.
Saban
hari, jika saja saya selalu mendapatkan pagi nan elok bak pagi hari ini. Apakah
saya akan melupakan lagi makna kata mensyukuri? Apakah saya takkan bosan lagi
dengan hari-hari?
Setelah
mandi lalu berjungkat memakai jemari, ku ganti plester di mata kaki. Pucuk
pohon kelapa telah sepenuhnya diwarna kuning Mentari. Begitu juga bukit
disebelah barat danau. Namun disisi timur sini kabut masih saja menari-nari
menunggu gilirannya dihabisi matahari yang makin meninggi. Sebuah paradok yang
sebenarnya tak ingin ku percayai.
![]() |
Lelaki yang sedang jatuh cinta |
Pamit
kuhaturkan pada ibu penginapan. Kedua kaki menuju simpang tiga maninjau, tempat
mobil menunggu penumpang menuju simpang Padang Luar. Untuk mencapai Padang
sebenarnya ingin hati melewati Pariaman, tapi ingin hati pula menyaksikan
Lembah Anai. Mobil melaju lincah melewati tanjakan berkelok, sudah akrab nian
supir mobil dengan kelok 44. Cerah cuaca, dingin udara. Danau Maninjau saya
mohon diri, kan ku sampaikan salammu untuk ayah ibuku nanti. Kan kuceritakan
tentang pagimu pada kawan-kawanku. Saya mencintai pagi ditepianmu.
Duuh cakep banget ini tempatnya. Narasinya juga pas, ngena di hati yang baca :D
ReplyDeleteDuuuuh...
DeleteAku terharu juga baca komentarmu mbak.. Terima Kasih lho Mbak Lina..
TApi pasti dirimu sudah sampai ke Maninjaukan?
Pernyataan "Dua ratus ribu Mas semalam" itu sebelumnya diawali pertanyaan "Asalnya dari mana dek?" nggak :D
ReplyDeleteTapi ya menarik juga, tarifnya bisa ditawar. Umumnya kan pas masuk biasanya disodori daftar tarif berikut pilihan kamar.
Anyway, Danau Maninjau memang cantik :D
Hahahaha.. Gak usah kalo itu Mas, langsung ditanya, Jawanya mana Mas? hahaha
DeleteMaklum Mas penginapan seadanya Mas, dah coba ke hotel sekitaran situ eh lumayan selisihnya.
Cantiknya tak terelakkan. hihihi
Pertanyaan yang tepat...
DeleteKebiasaan kalo beli salak di Turi dikasih harga 15rb
Setelah bilang omahku Turgo, langsung diskon 50% :D
Bhahaha.. Aseek diskon gedhe, asal gak disuruh metik sendirikan mas? haha
Deleteoooo pantesan itu lomba nggak di update, ternyata dikau sedang mengejar cinta ama gadis minang ya?? :))
ReplyDeleteAduuuuuuh.. Aku musti jawab gimana ya ini Mas? Hahaha
DeleteTapi enggak kok Mas, wkakakak
Saya merasa gagal sebagai pemenang TFP Mas, maap Mas maap..
Duuuh pengen deh ngerasain bangun pagi liat sunrise di danau, belom pernah ikss
ReplyDeleteHihihihi.. Ke Setu Babakan Kak Put, kan juga gak terlalu jauh..
DeleteMbak Putri mah udah ada yang nemenin kalo liat sunrise di danau, :(
tuuh kan, bener kan?? ujung2nya memang kamunya nyari temen untuk ngegalau bareng toh? udah kak put, cariin deh satu :))
DeleteMas cukup Mas cukup. Saya sudah ke tingkat stres lebih lanjut, Ngajak ngomong kantung tidur.
DeleteWooho cantik nian, elok bagaikan sebuah lukisan. #apasih? Wuah, keren mas, klo besok mau menjelajahi alam Indoneisa mbok ngajak-ngajak saya. Hehe
ReplyDeleteBhahahaha.. Kayak backdrop ya Mas?
DeleteLha hayuuuk, packing mas packing, haha
tulisannya digambarkan sedetil mungkin jadi bisa terbayang langsung kaya langit gelap berubah menjadi biru :D
ReplyDeleteIyaaak mbak Putri, sebuah proses perubahan yang belum tentu setiap orang menaruh hati, hihihi
DeleteItu yang lagi dipinggir danau lagi jatuh cinta atau patah hati ya. Solo traveler ya dek? Keren!
ReplyDeleteBhahahaha.. Pengalihan patah hati, jatuh cinta ma danau.. :D
DeleteBukan mbak, pemula mbak..
Danau Maninjau, semoga ada waktunya main ke sini...
ReplyDeleteWaktu itu gratis boi, semoga bisa disegerakan ya Mas.. Eh aku maen ke KarJaw dulu dong, hihihi
Deleteindah sekali, mesti rasa lelah akibat perjalanan menuju kesini langsung terobati ya... #sambilngebayanginbunyiangindanairdaridanau...
ReplyDeletesalam kenal
/kayka
Hai kak Kayka, salam keal.. :D
DeleteKebayar lunas mbak, jangan cuma dibayangin, didiengerin langsung dong.. *kirim rekaman
maknyesss om tulisane,
ReplyDeletesaya baru aja dari sumbar dan belum berhasil mampir ke maninjau padahal pengen bgt ke maninjau dan bukit tinggi :)
Terima Kasih mas Fathur, ayoook kita meetup. Laaah tanggung Mas udah di Minangkabau dan ke Bukittingii, tapi selalu ada alasan untuk kembali, hehe
DeleteCurang kamu, Mas. Inyong baru saja kemarin malam dikirim foto Empat Puluh Empat Kelokan sama kawan disana. Eh, malah ngana yang duluan kesana. CURANG!
ReplyDeleteBhahaha.. Enggak Mas, anggap saja cerita diatas fiksi Mas. Nanti kita boncengan naik motor kesana Mas.
DeleteKITA???!! LU AJA SONOOO! GUE MAH OGAH.. vkvkvkvkvkvk
Deleteckckckckckck
wkwkwkwkwk
😂😂
Oooooh githu, baiklah. Asal kamu masih mau nemenin aku ke Ciremai gpp Za..
DeleteJalan jalan tinggal cita cita kayaknya
ReplyDeleteUdah keblasuk di pedalaman begini susah mau keluar hihi
Bener Mas Rawins.
DeleteKalo sudah jatuh cinta rasanya jadi orang paling bahagia di dunia, hahaha
Aaakkkk potonya bikin ngileeerrr. Makin ngeces pengen ke Sumatera ><
ReplyDeleteBuruan kak, buruan jelajah sampe Sabang, nanti saya temenin, tapi ongkosin ya, hahaha..
DeleteMantap mas pemandangan danau'a apalagi pas pagi hari
ReplyDeleteWuiiih, bener banget. Khas Sumatra, tenang dan selalu dirindukan kak. hehe
DeleteGak rugi kalo 200/malam kalo pemandangannya seperti ini
ReplyDeleteBetuuul Banget Om Obat, bahkan yang kita dapet lebih dari harga itu.
Deleteindah banget, saya terpesona :)
ReplyDeleteHihihihi, Obat setres alami lho Om Obat, hihihi
DeleteAaarrgghhh!!! Indah banget.
ReplyDeleteBaca semuanya, yang lebih menarik ini. "Terasa dingin, kata orang memang begitu, kasur dari kapuk lebih dingin ketimbang yang dari busa apalagi yang terbuat dari perasaan, perasaan pacar yang bergandengan tangan dengan orang lain sehari setelah ketok palu putus sudah dilakukan."
wwkk wkkk
Hihihihi.. Inilah negeri kita Mbak Ira..
DeleteHahahaha, uhuuuk, pasti mbaknya juga pengalaman neitu ya? hehe
Iwak kali itu apa kak ??? aku baru denger hehehe, kalo nasi pake lauk ikan + sambel pasti enak banget yaaa #digampar
ReplyDelete